RUU Pertembakauan Sebut Kretek Budaya Bangsa, Ini Tanggapan Dokter

Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda Connect with Facebook

Jakarta, Tak lama setelah Peraturan Pemerintah (PP) Tembakau untuk mengendalikan rokok disahkan, muncul Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan yang menyebut kretek sebagai warisan budaya bangsa. Anggapan ini ditentang praktisi kesehatan.

Salah satu pendapat yang menentang datang dari dr Hakim Sorimuda Pohan, SpOG dari Universitas Indonesia. Dokter yang juga aktif di Komisi Nasional Pengemdalian Tembakau (Komnas PT) ini membandingkannya dengan warisan budaya lain yakni Tari Srimpi dari Yogyakarta.

"Tari Srimpi adalah kekayaan budaya, makanya perlu diperkenalkan misalnya sejak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Kalau rokok adalah kekayaan budaya, berarti harus diajarkan juga sejak dini biar tidak punah," sindir dr Hakim dalam temu media di kediaman pengusaha Arifin Panigoro, Kebayoran Baru, Jakarta, dan ditulis pada Kamis (13/6/2013).

Dalam RUU Pertembakauan yang sampai pembahasannya di DPR sampai sekarang masih ditunda, rokok kretek disebut sebagai warisan budaya berdasarkan sejumlah aspek, antara lain aspek historis. Sejarahnya, kretek ditemukan di Indonesia dan mengalami inovasi berlakelanjutan.

Beberapa kalangan juga mengklaim, produksi tembakau Indonesia begitu besar sehingga perlu mendapat perhatian khusus dan perlu dibuatkan undang-undang terendiri. Kenyataannya menurut dr Hakim, pasokan daun tembakau dari Indonesia di pasar dunia sangat kecil.

"Indonesia ada di urutan ke-5. China paling banyak, 30-40 persen. Brazil, 16 persen, India 10 persen, Amerika Serikat 5-6,6 persen. Indonesia, cuma 2,3 sampai 2,4 persen. Kalau kita katakan, kita merupakan negeri yang sangat bangga akan tembakau tapi sebenarnya pemasok yang sangat kecil," lanjut dr Hakim.

RUU Pertembakauan banyak memicu kontroversi karena dinilai melemahkan regulasi tentang pengendalian tembakau, termasuk PP nomor 109/2012 tentang Tembakau. Bila RUU ini disahkan, maka rokok tidak lagi digolongkan sebagai bahan adiktif, yang artinya tidak menyebabkan kecanduan.

"Ini mematahkan aksioma-aksioma yang sudah berlaku universal. Seperti mematahkan fakta ilmiah dan tanpa penelitian ilmiah, hanya melalui ketok palu oleh hakim berjubah," pungkas dr Hakim.

(up/vit)

13 Jun, 2013


-
Source: http://detik.feedsportal.com/c/33613/f/656114/s/2d36c0b2/l/0Lhealth0Bdetik0N0Cread0C20A130C0A60C130C0A831220C22720A260C7630Cruu0Epertembakauan0Esebut0Ekretek0Ebudaya0Ebangsa0Eini0Etanggapan0Edokter/story01.htm
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com